2 November 2025 12:42

Terdapat tiga kondisi yang menjadi pengecualian dari kaidah: لَا إِنْكًارَ فِي مَسَائِلِ الاِجْتِهَادِ.

Dalam tiga kondisi ini, tetap disyariatkan pengingkaran padanya walaupun itu merupakan permasalahan ijtihadiah.

1. Jika Landasan Pengambilan Kesimpulan (ma’khadz-nya) Sangat Lemah atau Jauh dari Petunjuk Dalil, Sehingga Pendapatnya Menjadi Sangat Lemah.

Contoh: Pendapat Atha’ bin Abi Rabah yang menyatakan bolehnya memanfaatkan budak wanita yang sedang digadaikan kepadanya untuk disetubuhi.

Pendapat ini tidak bisa diamalkan karena sangat lemah. Jadi, Orang yang melakukannya tetap harus dijatuhi hukuman had (tindak pidana).

2. Jika Permasalahannya Telah Diangkat ke Pengadilan. Maka Hakim Memutuskan Berdasarkan Pertimbangannya dan Tidak Perlu Menghiraukan Perbedaan Pendapat yang Ada.

Tidak boleh seorang mengkritik hakim karena dia memberi keputusan yang berbeda dengan pendapatnya. Jika pintu ini dibuka, pengadilan menjadi tidak berguna dan perselisihan tidak akan bisa diselesaikan.

3. Jika Orang yang Mengingkari Punya Hak atas Orang yang Diingkari, Maka Tidak Mengapa Ia Mengingkarinya Walaupun Itu Merupakan Permasalahan Ijtihadiah.

Contoh: Jika istri bermazhab Hanafi dan berpendapat bolehnya meminum nabidz (minuman fermentasi dari rendaman kurma dan semisalnya selain anggur) yang memabukkan.

Suami tetap berhak mengingkarinya, karena ia memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya. Sementara jika istrinya mabuk, ia tidak bisa bersenang-senang dengannya.

Faedah dars al-Faraid al-Bahiyyah bersama Fadhilatusy Syaikh Abbas al-Jaunah 🇧🇼 di Markiz Aisyah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *