2 November 2025 12:42

Malam Jumat, 24 Jumadal Ula 1445 H

Di antara jejak langkah para pencari ilmu, kadang kita menemukan potongan kisah yang begitu sederhana, namun menggugah dan menyentak hati.

Abu Alif Hanif as-Shedaw hafizahullah, seorang pelajar asal Sidoarjo yang menuntut ilmu di negeri para ulama, bercerita:

“Suatu hari, Syaikh Abbas—semoga Allah menjaganya—memanggilku ke rumah beliau untuk melakukan terapi totok, karena sejumlah penyakit yang beliau derita akibat usia lanjut.”

Dengan penuh hormat, Abu Alif mencoba memberi saran:

“Wahai Syaikh, sekiranya Anda meluangkan waktu untuk berolahraga, niscaya itu lebih baik untuk kesehatan Anda.”

Namun jawaban sang Syaikh tak terduga. Beliau tersenyum dan berkata dengan tegas:

“Laa, laa. Hari-hari kami bersama buku dan pena. Kami tidak punya waktu luang.”

Ucapan itu ringan di lisan, tapi berat di makna.

Dalam dunia yang terus bergerak cepat, di mana banyak orang berlomba mencari kenyamanan dan waktu senggang, ada sosok ulama yang menghabiskan sisa tenaganya bersama kitab dan tinta, menjadikan ilmu sebagai nafas hidupnya, bahkan ketika tubuh sudah tak lagi sekuat dulu.

Kisah ini bukan sekadar tentang disiplin atau cinta ilmu—ini adalah tentang kehidupan yang dipersembahkan untuk menuntut, mengamalkan, dan mengajarkan ilmu hingga usia senja. Tentang prioritas, kesungguhan, dan warisan intelektual yang tidak lahir dari kemalasan, tetapi dari pengorbanan.

Semoga kita diberi taufik untuk meneladani semangat beliau, meski hanya setetes dari samudra itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *