Para salaf terdahulu, mereka adalah keajaiban dunia dalam hal kekuatan hafalan dan kemapanan ilmu. Tak perlu diuji dan tak butuh divalidasi, kisah-kisah tentang mereka sudah cukup sebagai bukti akan hal ini.
Ada sebuah kisah menarik tentang seorang murid di zaman salaf yang penasaran dan ingin menguji kekuatan hafalan gurunya.
Ahmad bin Manshur Ar-Ramadi mengisahkan:
“Aku pernah keluar bersama Ahmad bin Hanbal dan Yahya bin Ma’in dalam perjalanan menuju Abdurrazzaq As-Shan’ani untuk mempelajari hadits. Sepulangnya kami dari Shan’a menuju Kufah, Yahya bin Ma’in berkata, ‘Aku ingin menguji Abu Nu’aim (Al-Fadhl bin Dukain, guru kita).’
Mendengar hal itu, Ahmad bin Hambal segera menegur, ‘Jangan lakukan itu! Beliau adalah seorang yang tsiqah (terpercaya).’ Namun, Yahya tetap bersikeras, ‘Aku tetap harus mengujinya.’
Yahya pun menyiapkan rencana. Ia mengambil kertas dan menulis 30 hadits yang diriwayatkan oleh Al-Fadhl. Lalu, ia menambahkan pada setiap sepuluh hadits satu hadis yang bukan dari periwayatannya.
Dengan itu, kami mendatangi rumah Al-Fadhl. Saat pintu diketuk, beliau keluar, lalu kami duduk di atas dikkah —bangku panjang dari tanah— yang terletak di depan rumah. Imam Ahmad duduk di sisi kanan Al-Fadhl, Yahya Ibnu Main di sisi kirinya, sementara aku duduk di bawah.
Ibnu Main memulai membaca hadits-hadits itu. Ketika sampai pada hadits ke-11, Al-Fadhl segera berkata, ‘Ini bukan haditsku, coret hadits ini.’
Yahya melanjutkan membaca sepuluh hadits berikutnya. Namun, saat ia membaca hadits ke-11 yang kedua, Al-Fadhl kembali menegaskan, ‘Ini bukan haditsku, coret pula yang ini.’
Ketika Yahya membaca sepuluh hadits terakhir, dan sampai pada hadits ke-11 yang ketiga, wajah Al-Fadhl berubah. Beliau tampak marah dan menatap tajam Yahya bin Ma’in, lalu berkata dengan tegas, ‘Adapun orang ini (sambil menunjuk Ahmad bin Hambal), ia adalah seorang yang wara’ dan jauh dari perbuatan seperti ini. Sedangkan orang ini (sambil menunjukku), kecil kemungkinannya untuk melakukan hal semacam ini. Tetapi, perbuatan ini pasti berasal darimu, wahai Yahya!’
Al-Fadhl pun berdiri, mengayunkan kakinya, dan menendang Yahya hingga terpental ke belakang tempat duduk. Beliau kemudian masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa lagi.
Imam Ahmad menoleh kepada Yahya bin Ma’in seraya berkata, ‘Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa Al-Fadhl adalah seorang yang tsiqah?’ Ibnu Ma’in menjawab, ‘Demi Allah, tendangan Al-Fadhl ini lebih berharga bagiku daripada seluruh perjalanan safarku ke Shan’a.’
Semoga Allah merahmati mereka semua.
Sumber: Siyar A’lamin Nubala, 10/149
Faedah dars Manzhumah al-Baiquniyyah bersama Fadhilatusy Syaikh Abbas al-Jaunah 🇧🇼 di Markiz Aisyah.


