Di antara kaidah fikih yang berlaku di dalam syariat adalah:
لَا إِنْكًارَ فِي مَسَائِلِ الاِجْتِهَادِ
Artinya: dalam permasalahan ijtihadiah, tidak bisa seorang mengingkari (menyalahkan, atau menganggap sesat -pent) pendapat lain yang berbeda dengannya.
Permasalahan ijtihadiah yakni perkara-perkara yang tidak ada dalil qath’i (pasti) padanya, atau yang dalilnya membuka ruang penafsiran, sehingga para ulama berbeda pendapat di dalamnya.
Kaidah ini sebagaimana kata Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam I’lamul Muwaqqi’in:
“Adapun jika tidak ada sunnah maupun ijmak dalam suatu permasalahan (di mana ijtihad diperbolehkan di sana), maka orang yang beramal dengannya berdasarkan ijtihad ataupun taklid tidak bisa diingkari.”
Hal ini karena kedua pendapat sama-sama berdalil dengan ijtihad yang dibangun di atas kaidah dan metode istinbath yang benar. Sehingga, bisa jadi kebenaran berada di pihak pertama, bisa jadi pula berada di pihak kedua.
Karena inilah, dahulu para sahabat maupun tabiin pun berselisih pendapat dalam perkara fikih semisal hukum waris, pernikahan, dsb. Namun mereka tidak saling mengingkari satu sama lain. Mereka hanya mengingkari pendapat yang bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perlu diperhatikan, bahwa yang demikian bukan berarti menafikan pembahasan, diskusi, atau penjelasan tentang pendapat yang lebih kuat. Sejak dahulu, para ulama juga telah membahas permasalahan ijtihadiah semacam ini. Jika telah jelas pendapat yang benar, maka itulah yang harus kita pegang.
Namun, ada tiga kondisi di mana permasalahan ijtihadiah tetap disyariatkan untuk diingkari. Simak pembahasannya pada postingan selanjutnya.
Faedah dars al-Faraid al-Bahiyyah bersama Fadhilatusy Syaikh Abbas al-Jaunah hafizhahullah di Markiz Aisyah.


