2 November 2025 00:25

Unik ! Fiil رأى Memiliki Tiga Masdar dengan Makna yang Berbeda

Tahukah Antum? Orang Arab memiliki cara unik dalam membedakan makna kata berdasarkan bentuk masdarnya. Salah satu contoh menarik adalah kata kerja رأى (melihat), yang memiliki tiga bentuk masdar dengan penggunaan yang berbeda:

1️⃣ Ru’ya (رؤيا) digunakan untuk apa yang dilihat dalam mimpi. Contoh:

رؤيا الأنبياء وحي

“Mimpinya para Nabi adalah wahyu.”

2️⃣ Ru’yah (رؤية) digunakan untuk apa yang dilihat dengan mata kepala saat terjaga. Contoh: 

رأيتُ أسدا رؤيةً حقيقية عندما دخلت الغابة

“Aku benar-benar melihat singa dengan mata kepala saat aku masuk hutan.”

3️⃣ Ra’yun (رأي) digunakan untuk apa yang diketahui dengan hati, bukan dengan mata. Contohnya seperti ucapan Ali bin Abi Thalib terkait hukum budak perempuan yang telah melahirkan anak dari hubungannya dengan tuannya: 

اتفق رأيي ورأيُ عمر على أن لا يُبَعْنَ

“Pandanganku dan Umar sepakat bahwa budak itu tidak boleh dijual.”

📝 Namun perlu dicatat, tidak semua apa yang diketahui dengan hati bisa menggunakan masdar ra’yu. Karena masdar tersebut khusus digunakan untuk pengetahuan yang:

1. Didapatkan setelah terjadinya proses berpikir, merenung, dan

2. Adanya upaya mengetahui mana yang benar jika ada tanda-tanda yang tampak bertentangan.

❎ Sehingga tidak dikatakan ra’yun jika seorang mengetahui sesuatu dengan hatinya terkait perkara gaib yang bisa ia rasakan secara indrawi, karena hal ini tidak membutuhkan proses berpikir dan perenungan.

Seperti seseorang yang mendengar suara petir di kejauhan, lalu hatinya yakin bahwa akan turun hujan.

➡️ Ini bukan ra’yun (رأي) karena keyakinannya berasal dari sesuatu yang bisa diketahui dengan indera (yaitu suara petir), bukan sekadar hasil renungan dan pertimbangan akal.

Tidak pula disebut ra’yun perkara-perkara yang tidak diperselisihkan oleh akal dan tidak bertentangan tanda-tandanya, walaupun ia membutuhkan proses berpikir dan perenungan, seperti hitung-hitungan matematika yang rumit.

MasyaAllah! Ternyata bahasa Arab sangat kaya makna, bukan? Yuk, terus tambah wawasan bahasa kita!

Sumber: I’lamul Muwaqqi’in, 1/140 (dengan penambahan contoh sebagai tambahan penjelasan).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *